FOLLOW insta : chandradewantara FOLLOW path : chandradewantara Wavy Cursor Tail 10

Minggu, 02 November 2014

MAX HAVELAAR




Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
(Lord Acton, Letter to Bishop Mandell Creighton, 1887)

Mungkin penyakit yang paling berbahaya tidak akan ditemukan di laboratorium, tetapi dalam semesta kehidupan, dan penyakit itu bernama korupsi. Penyakit tersebut telah lama ada, dan dengan sukses membiakkan dirinya dari generasi ke generasi. Eduard Douwes Dekker yang dikenal dengan nama pena Multatuli, menulis novel ini dengan protagonis Max Havelaar. Max Havelaar adalah seorang asisten residen di Lebak (sekarang masuk Provinsi Banten). Havelaar menggantikan asisten sebelumnya yang tewas terbunuh, Slottering. Sebelumnya, Havelaar bertugas sebagai asisten residen di Natal (sekarang masuk Provinsi Sumatra Utara). Dan pengalaman tersebut diceritakan kembali oleh Multatuli melalui karya fiksi ini.
Max Havelaar
atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda
Penulis: Multatuli
Terjemahan: H.B. Jassin
Pendahuluan dan Anotasi: Drs. Gerard Termorshuizen
Penerbit: Djambatan (cet keempat, 1977)

Latar Belakang
Apa yang menjadi permasalahan pada saat itu di Pulau Jawa adalah strategi yang digunakan kolonial Belanda untuk mengisi kembali pundi-pundi perbendaharaan kas mereka yang kosong akibat membiayai perang. Perang terbesar pada saat itu ialah Perang Jawa (1825-1830). Perang tersebut dimenangi oleh pemerintah kolonial Belanda dengan menyerahnya Pangeran Diponegoro. Dengan demikian, pemerintah kolonial tidak punya 'saingan' dalam memerintah Pulau Jawa. Namun, perang tersebut menyisakan kerugian yang cukup besar di pihak kolonial baik di Jawa maupun di negeri Belanda. Gubernur Jenderal Belanda pada saat itu ialah Johannes van den Bosch beride bagaimana mengembalikan kekayaan Pemerintah Belanda. Idenya adalah Pemerintah kolonial menerapkan sistem penanaman atau Cultuurstelsel.

Sistem tersebut tidak pernah tertuang secara eksplisit, namun didasarkan pada prinsip umum sederhana. Daerah-daerah berutang pajak kepada pemerintah yang besarnya 40% dari taksiran hasil panen utama (biasanya beras). Pajak tersebut dibayarkan dalam uang tunai, namun sulit dalam pelaksanaannya karena sumber daya administrasi dan uang tidak tersedia. Bila pendapatan panen suatu daerah lebih besar daripada pajak yang harus ditanggungnya, maka ia memperoleh kelebihannya, sementara kalau pendapatan hasil panen kurang dari pajak yang seharusnya, maka daerah tersebut harus menggantinya dari sumber pendapatan lain. namun yang terjadi adalah: bagi desa harus ada nilai tukar antara pajak tanah yang didasarkan atas komoditi beras dan komoditi ekspor kepada pemerintah  Sistem ini mengharuskan masyarakat petani di daerah Jawa untuk menanam tanaman yang laku di pasar dunia seperti kopi, tebu, teh untuk diserahkan pada pemerintah kolonial sebagai pajak dalam bentuk natura (barang). Sebelum berkembangnya produksi gula dan nila, hanya kopi yang memiliki nilai ekonomis (ditanam di Priangan, Jawa Barat). Namun perkebunan nila tidak berhasil, sebagian besar perkebunan di Yogyakarta dan Surakarta berubah menjadi perkebunan gula. Selain itu, bagi penduduk yang tidak memiliki tanah, diharuskan membayar pajak dengan bekerja pada tanah milik pemerintah kolonial. Sistem Cultuurstelsel ini mulai diperkenalkan sejak tahun 1830 dan pada tahun 1840 diterapkan di seluruh Pulau Jawa.
Pada prakteknya, keuntungan hanya dinikmati oleh pengusaha Cina serta pada administrator dan para pejabat pribumi yang sebagian besar tidak hanya menerima persentasi namun juga memiliki tanah jabatan (Ricklefs). Dampak-dampak cultuurstelsel ini tentu saja menguntungkan negeri Belanda. Dalam kurun waktu 1831-1877, telah dihasilkan 827juta gulden. Dampak sosial dan ekologi tentu saja rusak. Penderitaan orang-orang di Jawa meningkat, serta lingkungan yang tak stabil. peruntukan lahan untuk padi diubah jadi menanam tebu. Akibatnya timbul paceklik. Sementara itu perdagangan komoditi ekspor dari Jawa ke Eropa semakin didominasi swasta, karena itu banyak yang tertarik menjadi broker antara sang majikan, Belanda, dan petani.  Broker kopi ini, menurut Ricklefs (1993), bekerja sama dengan pegawai Belanda untuk memenuhi target ekspor kopi. Ketika cultuurstelsel mulai dihapuskan, kopi adalah komoditi yang dihapuskan terakhir kali.
Keadaan Sosial
Struktur cultuustelsel berdampak pada tatanan kehidupan sosial. Kepala desa merupakan penghubung antara petani dan pejabat yang puncaknya adalah bupati. Bupati adalah bangsawan yang mengepalai kabupaten dan bertanggung jawab pada pemerintahan Belanda. Pejabat Belanda di suatu kabupaten ditugasi untuk mengurus penerimaan pajak dari masyarakat petani. Permasalahan korupsi yang muncul ialah, mereka dibayar sesuai dengan persentase penyerahan komoditi pertanian. Komoditi ekspor yang menjadi hak pemerintah dihargai terlalu rendah. Perdagangan komoditi ekspor di jalur swasta meningkat, dan terjadi pemerasan terhadap desa-desa. Korupsi merajalela dan pemerintah pusat di Batavia tidak mampu memantau hal tersebut ke seluruh daerah.
Mulatatuli cukup detil menggambarkan apa saja ciri Havelaar. Kurang lebih satu halaman untuk menjelaskannya. Havelaar digambarkan sebagai seorang tubuhnya lampai, cepat gerak-geriknya. Ia cermnat dfan teratur, doitambah pula sangat sabatr tapi justru karena kecermatan, ketertiban dan kesabatan sukar baginya, karena jiwanya agal liart; ia lamban dan gatu-hati dalam pertimbangannya,meskipun tidak demikian nampaknya bagi orang yang mendedengarnya dengan cepat mengambil kesimpulan (h.47-48).
Pengalaman hidup banyak memberi sumbangan pada kebijaksanaan. Havelaar mengunjungi banyak tempat. Di setiap tempat tersebut ia menuliskan pengalamannya, dan ini yang disebut oleh Multatuli: "Dan bahwa ia sesungguhnya memang banyak mengalami, bahwa ia tidak melintasi kehidupan tanpa menampung kesan-kesan yang banyak diberikan oleh kehidupan itu, hal itu dibuktikan oleh kecepatan pikirannya dan jiwanya yang mudah menerima (h.51)
Max Havelaar diangkat jadi asisten residen daerah Banten Kidul atau Banten Slaetan, sebagaimana Lebak disebut oleh anak Bumiputera. Nyonya Slotering adalah janda asisten tesiden yang digantikan oleh Havelaar yang meninggal dua bulan sebelum Havelaar menggantikannya. Penugasan sementara menunggu penggantinya, ditugaskan kepada Verbrugge untuk mengerjakan pekerjaan asisten residen.

Tiga Pencerita
Ada tiga narator dalam buku ini. Narator pertama adalah Droogstoppel, kedua adalah Stern, dan ketiga adalah Multatuli.  Perpindahan antarnarator dapat dibedakan pada konteks ceritanya. Droogstoppel bercerita tentang seputar perusahaan makelar kopi dan bursa perdagangan, Stern bercerita tentang Havelaar, sementara Multatuli muncul pada bagian penutup cerita.

Pada pembuka, Droogstoppel memperkenalkan dirinya adalah sebagai makelar kopi yang tinggal di Lauriergracht No.37 (cat. sepenting apa sehingga alamat ini disebutkan berkali-kali). Droogstoppel tidak suka pada sastra, dari kalimatnya ia mempersoalkan sajak yang tidak pas (menurut logikanya):
"saya tidak punya keberatan apa-apa terhadap sajak-sajak. Kalau orang hendak menjajarkan kata-kata, baiklah, tapi jangan katakan sesuatu yang tidak benar."Udara hitam pekat, dan sudah jam empat". Saya tidak keberatan, kalau udara memang pekat, dan waktu jam empat. Tapi kalau jam menunjuk jam tiga kurang lima belas, maka saya, yang tidak menjejerkan kata-kata dalam barisan, dapat mengatakan:"udara hitam dan waktu jam tiga kurang lima belas". Tapi sipenyair karena ada hitam pekat di baris pertama, terikat pada jam empat; sekiranya waktu jam lima, dua, satu, maka udara tidak boleh hitam pekat. Maka mulailah ia bertukang; atau udara harus dirobah, atau waktu harus diganti. Salah satu adalah dusta (h.4)
Droogstoppel berkenalan dengan Syaalman. Syaalman memperkenalkan diri sebagai seorang penyair. Seperti yang diutarakan pada bab awal, Sebenarnya ia tidak suka padanya (terlebih karena Syaalman adalah seorang penyair/sastrawan). Syaalman datang kepada Droogstoppel dengan membawa bungkusan berisi naskah-naskah dan meminta bantuan Droogstoppel untuk membiayai ongkos cetaknya, sebab Syaalman tidak memiliki uang lagi dan ia harus menghidupi keluarganya. Droogstoppel tertarik pada isi bungkusan itu karena ada naskah yang bercerita tentang kopi:
...mata saya tertarik pada berkas:" Laporan mengenai Perusahaan Kopi di Residensi Manado"...Saya menemukan karangan-karangan yang tidak saya mengerti seluruhnya, tapi yang sungguh memperlihatkan pengetahuan soal. Ada daftar-daftar, pemberitahuan-pemberitahuan perhitungan-perhitungan dengan angka-angka yang sama sekali tidak memakai sanjak, dan semuanya itu dikerjakan dengan ketelitian dan kehati-hatian. (h.23)
 
Akhirnya diputuskanlah bahwa Droogstoppel akan menulis sebuah buku berdasarkan naskah-naskah tersebut. Untuk tugas penulisan bab-bab buku tersebut diserahkan pada Stern, dan Droogstoppel memiliki hak menambah tulisan.
Kisah Havelaar dibangun oleh Stern. Pemandangan keramaian pagi di jalan Pandeglang-Lebak, dituliskan oleh Stern mulai bab v, dengan demikian lokasi cerita berpindah dari Amsterdam ke Indonesia. Jadi cerita asisten residen Max Havelaar ini adalah cerita di dalam cerita. Ide awalnya ingin bercerita tentang kopi malah berubah menjadi menceritakan Max Havelaar. Dan memang, di Lebak sama sekali tidak ada perkebunan kopi.
Pencerita terakhir adalah Multatuli sendiri. Ia masuk tiba-tiba menutup cerita dengan kalimat: Aku mau dibaca.  Multatuli mengakui bahwa karyanya tidak beraturan, pengarangnya mengejar sensasi, gayanya buruk, tidak nampak keahlian,...namun ia menyampaikan pesannya: tapi orang Jawa dianiaya!
Pertanyaan
Ada beberapa pertanyaan sekaligus kritik yang disampaikan oleh Multatuli, dan mungkin hal tersebut masih relevan sampai sekarang. Pertama adalah kritik terhadap sumpah jabatan. Ketika diangkat menjadi asisten residen, Havelaar diminta mengucapkan sumpah bahwa akan mematuhi dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang ada. Dan yang terpenting: akan melindungi penduduk Bumiputera terhadap penindasan, penyiksaan, dan penganiayaan. Apakah demikian yang dilakukan pejabat pemerintahan sekarang yang membela kepentingan rakyat kecil di atas kedudukannya?
Kedua, ia menegaskan apa panggilan bekerja. Ketika Max Havelaar memimpin rapat setelah ia dilantik maupun dalam surat-suratnya ia memberi pandangan apa peranan sebagai pekerja pemerintah :
Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi; kita bersukacita karena memotong padi yang kita tanam. Dan jiwa manusia bukan tumbuh karena upah, tapi karena kerja yang membikin ia berhak untuk menerima upah.
Dan apa jawab kita, kalau sesudah kita mati, ada suara menegur roh kita dan bertanya: "mengapa orang meratap di ladang-ladang, dan mengapa pemuda-pemuda menyembumyikan diri? Siapa yang mengambil panen dari lumbung dan menteret kerbau yang akan membahak ladang dari kandang? Apa yang telah klau lakukan dengan saudaramyu yang kuserahkan penjagaannya kepadamu? Mengapa si celaka itu bersedih hati dan mengutuk kesuburan istrinya? (h.69)
Adakah yang lebih tinggi dari kebahagiaan? Maka bukankah kewajiban kita untuk membahagiakan manusia? Dan jika untuk itu diperlukan kerja, bolehkah kita melarang orang Jawa bekerja, pekerjaan yang yang diperlukan untuk kebahagiaan jiwanya, supaya nanti tidak akan dibakar dalam api neraka (h.88)
..supaya anda tinggalkan sikap takut-takut dan tampil dengan berani memperjhuangkan sesuatu kepentingan (h.145)
dan ucapan ini ditujukan bukan terutama pada anda, tetapi kepada sekolah di mana anda dididik menjadi pegawai negeri Hindia (h.145). Hendaklah kata yang mulia itu terbukti dengan cara lain, dari sekedar gelar yang membosankan itu, gelar yang mengganggu arti kalimat.
Ketiga, mengkritik pengangkatan gubernur jenderal. Multatuli mempersoalkan pengangkatan gubernur jenderal. Menurutnya, orang yang diangkat menjadi gubernur jenderal seharusnya selain cakap adalah seorang yang cukup punya pengalaman memimpin, mengingat permasalahan di Hindia sangat kompleks. Persoalan kesetiaan dan kejujuran menjadi poin penting. Dari cerita Multatuli ini juga dapat diketahui bahwa praktik korupsi sudah berlangsung dari sejak dulu. Gedung-gedung pemerintahan yang dibangun seringkali tidak berdasarkan anggaran biaya yang telah disusun, tetapi menggunakan tenaga kerja paksa yang tidak dibayar. Dan terutama Multatuli menyoroti perilaku para pemimpin Belanda di Hindia seperti buta mendadak:
Orang yang baru beberapa waktu yang lalu tersembunyi di antara lingkungannya, tidak menonjol dalam pangkat atau kekuasaan, biasanya secara tiba-tiba, diangkat di atas orang banyak, yang jauh lebih besar jumlahnya dari lingkaran kecil yang dahulu membenamnya sebhingga tidak kelihatan oleh orangl dan saya kira tepatlah jika saya menyebut tempatnya yang tinggi itu membuat pemandangan orang berputar-putar....seperti kita menjadi buta apabila kita dengan cepat dipindahkan dari tempat yang gelap pekat ke tempat yang cerah. (h.149)
Keempat, mengkritik gaya hidup saleh? Multatuli mengkritisi apakah benar pandangan orang Belanda, bahwa mereka adalah golongan Eropa terpilih yang mendapat berkat Tuhan, berbeda dengan Prancis yang terjadi bunuh-bunuhan. Sementara orang Belanda berdiam di negeri jauh, Orang Jawa yang digambarkan kafir malah menghasilkan kekayaan bagi mereka (h.159)
Dari sudut pandang orang Belanda yang di negeri Belanda apakah kalimat: orang harus bekerja keras, dan siapa yang tidak mau, adalah miskin dan tetap tinggal miskin, dengan sendirinya (h.162) tetap relevan terlaksana di tanah jajahan?

Film Max Havelaar
Kurang lebih seabad setelah novel ini terbit, pada tahun 1976 dibuat film Max Havelaar. Film ini disutradarai oleh Fons Rademakers. Film ini seharusnya merupakan co-production antara Fons Rademakers Productie BV (Amsterdam) dan PT Mondial Motion Pictures (Jakarta). Dari tulisan DA Peransi, yang diterbitkan si Harian Suara Pembaruan pada tahun 1987 menyatakan bahwa film tersebut seharusnya menggali kembali fakta sejarah yang ada dalam novel ini. DA Peransi berpendapat bahwa seharusnya ada keseimbangan dalam melihat tokoh Max Havelaar dan Residen Adipati Lebak di sini. Namun, konteks pada masa itu ialah di Belanda antiIndonesia masih begitu kencang. Alhasil film yang diproduksi tersebut menceritakan apa adanya seperti yang ada pada novel. Max Havelaar, putih hatinya yang ingin melakukan perubahan, Adipati Lebak yang hitam hatinya dan suka memeras rakyatnya, serta cerita Saijah dan Adinda yang menjadi 'bumbu' yang terselip pada keheroikan Max Havelaar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar