MAX HAVELAAR
Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
(Lord Acton, Letter to Bishop Mandell Creighton, 1887)
Mungkin penyakit yang paling berbahaya tidak akan ditemukan di
laboratorium, tetapi dalam semesta kehidupan, dan penyakit itu bernama
korupsi. Penyakit tersebut telah lama ada, dan dengan sukses membiakkan
dirinya dari generasi ke generasi.
Eduard Douwes Dekker yang dikenal dengan nama pena
Multatuli,
menulis novel ini dengan protagonis Max Havelaar. Max Havelaar adalah
seorang asisten residen di Lebak (sekarang masuk Provinsi Banten).
Havelaar menggantikan asisten sebelumnya yang tewas terbunuh,
Slottering. Sebelumnya, Havelaar bertugas sebagai asisten residen di
Natal (sekarang masuk Provinsi Sumatra Utara). Dan pengalaman tersebut
diceritakan kembali oleh Multatuli melalui karya fiksi ini.
Max Havelaar
atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda
Penulis: Multatuli
Terjemahan: H.B. Jassin
Pendahuluan dan Anotasi: Drs. Gerard Termorshuizen
Penerbit: Djambatan (cet keempat, 1977)
Latar Belakang
Apa yang menjadi permasalahan pada saat itu di Pulau Jawa adalah
strategi yang digunakan kolonial Belanda untuk mengisi kembali
pundi-pundi perbendaharaan kas mereka yang kosong akibat membiayai
perang. Perang terbesar pada saat itu ialah Perang Jawa (1825-1830).
Perang tersebut dimenangi oleh pemerintah kolonial Belanda dengan
menyerahnya Pangeran Diponegoro. Dengan demikian, pemerintah kolonial
tidak punya 'saingan' dalam memerintah Pulau Jawa. Namun, perang
tersebut menyisakan kerugian yang cukup besar di pihak kolonial baik di
Jawa maupun di negeri Belanda. Gubernur Jenderal Belanda pada saat itu
ialah
Johannes van den Bosch beride bagaimana mengembalikan kekayaan Pemerintah Belanda. Idenya adalah Pemerintah kolonial menerapkan sistem penanaman atau
Cultuurstelsel.
Sistem tersebut tidak pernah tertuang secara eksplisit, namun didasarkan
pada prinsip umum sederhana. Daerah-daerah berutang pajak kepada
pemerintah yang besarnya 40% dari taksiran hasil panen utama (biasanya
beras). Pajak tersebut dibayarkan dalam uang tunai, namun sulit dalam
pelaksanaannya karena sumber daya administrasi dan uang tidak tersedia.
Bila pendapatan panen suatu daerah lebih besar daripada pajak yang harus
ditanggungnya, maka ia memperoleh kelebihannya, sementara kalau
pendapatan hasil panen kurang dari pajak yang seharusnya, maka daerah
tersebut harus menggantinya dari sumber pendapatan lain. namun yang
terjadi adalah: bagi desa harus ada nilai tukar antara pajak tanah yang
didasarkan atas komoditi beras dan komoditi ekspor kepada pemerintah
Sistem ini mengharuskan masyarakat petani di daerah Jawa untuk menanam
tanaman yang laku di pasar dunia seperti kopi, tebu, teh untuk
diserahkan pada pemerintah kolonial sebagai pajak dalam bentuk natura
(barang). Sebelum berkembangnya produksi gula dan nila, hanya kopi yang
memiliki nilai ekonomis (ditanam di Priangan, Jawa Barat). Namun
perkebunan nila tidak berhasil, sebagian besar perkebunan di Yogyakarta
dan Surakarta berubah menjadi perkebunan gula. Selain itu, bagi penduduk
yang tidak memiliki tanah, diharuskan membayar pajak dengan bekerja
pada tanah milik pemerintah kolonial. Sistem Cultuurstelsel ini mulai
diperkenalkan sejak tahun 1830 dan pada tahun 1840 diterapkan di seluruh
Pulau Jawa.
Pada prakteknya, keuntungan hanya dinikmati oleh pengusaha Cina serta
pada administrator dan para pejabat pribumi yang sebagian besar tidak
hanya menerima persentasi namun juga memiliki tanah jabatan (Ricklefs).
Dampak-dampak cultuurstelsel ini tentu saja menguntungkan negeri
Belanda. Dalam kurun waktu 1831-1877, telah dihasilkan 827juta gulden.
Dampak sosial dan ekologi tentu saja rusak. Penderitaan orang-orang di
Jawa meningkat, serta lingkungan yang tak stabil. peruntukan lahan untuk
padi diubah jadi menanam tebu. Akibatnya timbul paceklik. Sementara itu
perdagangan komoditi ekspor dari Jawa ke Eropa semakin didominasi
swasta, karena itu banyak yang tertarik menjadi broker antara sang
majikan, Belanda, dan petani. Broker kopi ini, menurut Ricklefs (1993),
bekerja sama dengan pegawai Belanda untuk memenuhi target ekspor kopi.
Ketika cultuurstelsel mulai dihapuskan, kopi adalah komoditi yang
dihapuskan terakhir kali.
Keadaan Sosial
Struktur cultuustelsel berdampak pada tatanan kehidupan sosial. Kepala
desa merupakan penghubung antara petani dan pejabat yang puncaknya
adalah bupati. Bupati adalah bangsawan yang mengepalai kabupaten dan
bertanggung jawab pada pemerintahan Belanda. Pejabat Belanda di suatu
kabupaten ditugasi untuk mengurus penerimaan pajak dari masyarakat
petani. Permasalahan korupsi yang muncul ialah, mereka dibayar sesuai
dengan persentase penyerahan komoditi pertanian. Komoditi ekspor yang
menjadi hak pemerintah dihargai terlalu rendah. Perdagangan komoditi
ekspor di jalur swasta meningkat, dan terjadi pemerasan terhadap
desa-desa. Korupsi merajalela dan pemerintah pusat di Batavia tidak
mampu memantau hal tersebut ke seluruh daerah.
Mulatatuli cukup detil menggambarkan apa saja ciri Havelaar. Kurang
lebih satu halaman untuk menjelaskannya. Havelaar digambarkan sebagai
seorang tubuhnya lampai, cepat gerak-geriknya. Ia cermnat dfan teratur,
doitambah pula sangat sabatr tapi justru karena kecermatan, ketertiban
dan kesabatan sukar baginya, karena jiwanya agal liart; ia lamban dan
gatu-hati dalam pertimbangannya,meskipun tidak demikian nampaknya bagi
orang yang mendedengarnya dengan cepat mengambil kesimpulan (h.47-48).
Pengalaman hidup banyak memberi sumbangan pada kebijaksanaan. Havelaar
mengunjungi banyak tempat. Di setiap tempat tersebut ia menuliskan
pengalamannya, dan ini yang disebut oleh Multatuli: "Dan bahwa ia
sesungguhnya memang banyak mengalami, bahwa ia tidak melintasi kehidupan
tanpa menampung kesan-kesan yang banyak diberikan oleh kehidupan itu,
hal itu dibuktikan oleh kecepatan pikirannya dan jiwanya yang mudah
menerima (h.51)
Max Havelaar diangkat jadi asisten residen daerah Banten Kidul atau
Banten Slaetan, sebagaimana Lebak disebut oleh anak Bumiputera. Nyonya
Slotering adalah janda asisten tesiden yang digantikan oleh Havelaar
yang meninggal dua bulan sebelum Havelaar menggantikannya. Penugasan
sementara menunggu penggantinya, ditugaskan kepada Verbrugge untuk
mengerjakan pekerjaan asisten residen.
Tiga Pencerita
Ada tiga narator dalam buku ini. Narator pertama adalah Droogstoppel,
kedua adalah Stern, dan ketiga adalah Multatuli. Perpindahan
antarnarator dapat dibedakan pada konteks ceritanya. Droogstoppel
bercerita tentang seputar perusahaan makelar kopi dan bursa
perdagangan, Stern bercerita tentang Havelaar, sementara Multatuli
muncul pada bagian penutup cerita.
Pada pembuka, Droogstoppel memperkenalkan dirinya adalah sebagai makelar kopi yang tinggal di Lauriergracht No.37 (cat. sepenting apa sehingga alamat ini disebutkan berkali-kali). Droogstoppel tidak suka pada sastra, dari kalimatnya ia mempersoalkan sajak yang tidak pas (menurut logikanya):
"saya tidak punya keberatan apa-apa terhadap sajak-sajak. Kalau orang
hendak menjajarkan kata-kata, baiklah, tapi jangan katakan sesuatu yang
tidak benar."Udara hitam pekat, dan sudah jam empat". Saya tidak
keberatan, kalau udara memang pekat, dan waktu jam empat. Tapi kalau jam
menunjuk jam tiga kurang lima belas, maka saya, yang tidak menjejerkan
kata-kata dalam barisan, dapat mengatakan:"udara hitam dan waktu jam
tiga kurang lima belas". Tapi sipenyair karena ada hitam pekat di baris
pertama, terikat pada jam empat; sekiranya waktu jam lima, dua, satu,
maka udara tidak boleh hitam pekat. Maka mulailah ia bertukang; atau
udara harus dirobah, atau waktu harus diganti. Salah satu adalah dusta
(h.4)
Droogstoppel berkenalan dengan Syaalman. Syaalman memperkenalkan diri
sebagai seorang penyair. Seperti yang diutarakan pada bab awal,
Sebenarnya ia tidak suka padanya (terlebih karena Syaalman adalah
seorang penyair/sastrawan). Syaalman datang kepada Droogstoppel dengan
membawa bungkusan berisi naskah-naskah dan meminta bantuan Droogstoppel
untuk membiayai ongkos cetaknya, sebab Syaalman tidak memiliki uang
lagi dan ia harus menghidupi keluarganya. Droogstoppel tertarik pada isi
bungkusan itu karena ada naskah yang bercerita tentang kopi:
...mata saya tertarik pada berkas:" Laporan mengenai Perusahaan Kopi
di Residensi Manado"...Saya menemukan karangan-karangan yang tidak saya
mengerti seluruhnya, tapi yang sungguh memperlihatkan pengetahuan soal.
Ada daftar-daftar, pemberitahuan-pemberitahuan perhitungan-perhitungan
dengan angka-angka yang sama sekali tidak memakai sanjak, dan semuanya
itu dikerjakan dengan ketelitian dan kehati-hatian. (h.23)
Akhirnya diputuskanlah bahwa Droogstoppel akan menulis sebuah buku
berdasarkan naskah-naskah tersebut. Untuk tugas penulisan bab-bab buku
tersebut diserahkan pada Stern, dan Droogstoppel memiliki hak menambah
tulisan.
Kisah Havelaar dibangun oleh Stern. Pemandangan keramaian pagi di jalan
Pandeglang-Lebak, dituliskan oleh Stern mulai bab v, dengan demikian
lokasi cerita berpindah dari Amsterdam ke Indonesia. Jadi cerita asisten
residen Max Havelaar ini adalah cerita di dalam cerita. Ide awalnya
ingin bercerita tentang kopi malah berubah menjadi menceritakan Max
Havelaar. Dan memang, di Lebak sama sekali tidak ada perkebunan kopi.
Pencerita terakhir adalah Multatuli sendiri. Ia masuk tiba-tiba menutup cerita dengan kalimat: Aku mau dibaca. Multatuli
mengakui bahwa karyanya tidak beraturan, pengarangnya mengejar sensasi,
gayanya buruk, tidak nampak keahlian,...namun ia menyampaikan pesannya:
tapi orang Jawa dianiaya!
Pertanyaan
Ada beberapa pertanyaan sekaligus kritik yang disampaikan oleh
Multatuli, dan mungkin hal tersebut masih relevan sampai sekarang. Pertama
adalah kritik terhadap sumpah jabatan. Ketika diangkat menjadi asisten
residen, Havelaar diminta mengucapkan sumpah bahwa akan mematuhi dan
menegakkan peraturan dan undang-undang yang ada. Dan yang terpenting:
akan melindungi penduduk Bumiputera terhadap penindasan, penyiksaan, dan
penganiayaan. Apakah demikian yang dilakukan pejabat pemerintahan
sekarang yang membela kepentingan rakyat kecil di atas kedudukannya?
Kedua, ia menegaskan apa panggilan bekerja. Ketika Max Havelaar
memimpin rapat setelah ia dilantik maupun dalam surat-suratnya ia
memberi pandangan apa peranan sebagai pekerja pemerintah :
Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi; kita bersukacita
karena memotong padi yang kita tanam. Dan jiwa manusia bukan tumbuh
karena upah, tapi karena kerja yang membikin ia berhak untuk menerima
upah.
Dan apa jawab kita, kalau sesudah kita mati, ada suara menegur roh
kita dan bertanya: "mengapa orang meratap di ladang-ladang, dan mengapa
pemuda-pemuda menyembumyikan diri? Siapa yang mengambil panen dari
lumbung dan menteret kerbau yang akan membahak ladang dari kandang? Apa
yang telah klau lakukan dengan saudaramyu yang kuserahkan penjagaannya
kepadamu? Mengapa si celaka itu bersedih hati dan mengutuk kesuburan
istrinya? (h.69)
Adakah yang lebih tinggi dari kebahagiaan? Maka bukankah kewajiban
kita untuk membahagiakan manusia? Dan jika untuk itu diperlukan kerja,
bolehkah kita melarang orang Jawa bekerja, pekerjaan yang yang
diperlukan untuk kebahagiaan jiwanya, supaya nanti tidak akan dibakar
dalam api neraka (h.88)
..supaya anda tinggalkan sikap takut-takut dan tampil dengan berani memperjhuangkan sesuatu kepentingan (h.145)
dan ucapan ini ditujukan bukan terutama pada anda, tetapi kepada
sekolah di mana anda dididik menjadi pegawai negeri Hindia (h.145).
Hendaklah kata yang mulia itu terbukti dengan cara lain, dari sekedar gelar yang membosankan itu, gelar yang mengganggu arti kalimat.
Ketiga, mengkritik pengangkatan gubernur jenderal. Multatuli
mempersoalkan pengangkatan gubernur jenderal. Menurutnya, orang yang
diangkat menjadi gubernur jenderal seharusnya selain cakap adalah
seorang yang cukup punya pengalaman memimpin, mengingat permasalahan di
Hindia sangat kompleks. Persoalan kesetiaan dan kejujuran menjadi poin
penting. Dari cerita Multatuli ini juga dapat diketahui bahwa praktik
korupsi sudah berlangsung dari sejak dulu. Gedung-gedung pemerintahan
yang dibangun seringkali tidak berdasarkan anggaran biaya yang telah
disusun, tetapi menggunakan tenaga kerja paksa yang tidak dibayar. Dan
terutama Multatuli menyoroti perilaku para pemimpin Belanda di Hindia
seperti buta mendadak:
Orang yang baru beberapa waktu yang lalu tersembunyi di antara
lingkungannya, tidak menonjol dalam pangkat atau kekuasaan, biasanya
secara tiba-tiba, diangkat di atas orang banyak, yang jauh lebih besar
jumlahnya dari lingkaran kecil yang dahulu membenamnya sebhingga tidak
kelihatan oleh orangl dan saya kira tepatlah jika saya menyebut
tempatnya yang tinggi itu membuat pemandangan orang
berputar-putar....seperti kita menjadi buta apabila kita dengan cepat
dipindahkan dari tempat yang gelap pekat ke tempat yang cerah. (h.149)
Keempat, mengkritik gaya hidup saleh? Multatuli mengkritisi
apakah benar pandangan orang Belanda, bahwa mereka adalah golongan Eropa
terpilih yang mendapat berkat Tuhan, berbeda dengan Prancis yang
terjadi bunuh-bunuhan. Sementara orang Belanda berdiam di negeri jauh,
Orang Jawa yang digambarkan kafir malah menghasilkan kekayaan bagi
mereka (h.159)
Dari sudut pandang orang Belanda yang di negeri Belanda apakah kalimat:
orang harus bekerja keras, dan siapa yang tidak mau, adalah miskin dan
tetap tinggal miskin, dengan sendirinya (h.162) tetap relevan terlaksana
di tanah jajahan?
Film Max Havelaar
Kurang lebih seabad setelah novel ini terbit, pada tahun 1976 dibuat film Max Havelaar. Film ini disutradarai oleh
Fons Rademakers. Film ini seharusnya merupakan
co-production antara
Fons Rademakers Productie BV (Amsterdam) dan
PT Mondial Motion Pictures (Jakarta). Dari tulisan
DA Peransi,
yang diterbitkan si Harian Suara Pembaruan pada tahun 1987 menyatakan
bahwa film tersebut seharusnya menggali kembali fakta sejarah yang ada
dalam novel ini. DA Peransi berpendapat bahwa seharusnya ada
keseimbangan dalam melihat tokoh Max Havelaar dan Residen Adipati Lebak
di sini. Namun, konteks pada masa itu ialah di Belanda antiIndonesia
masih begitu kencang. Alhasil film yang diproduksi tersebut menceritakan
apa adanya seperti yang ada pada novel. Max Havelaar, putih hatinya
yang ingin melakukan perubahan, Adipati Lebak yang hitam hatinya dan
suka memeras rakyatnya, serta cerita Saijah dan Adinda yang menjadi
'bumbu' yang terselip pada keheroikan Max Havelaar.